Iklan

Iklan

Urgensi Peradilan Khusus Pilkada

Saturday, November 13, 2021 WIB Last Updated 2021-11-13T03:19:26Z



Urgensi Peradilan Khusus Pilkada: Menyongsong Pilkada Serentak Nasional

Oleh Didi Muslim Sekutu, S.H.,M.H (Analis Hukum Komisi Pemilihan Umum)


KLIKSULSEL.COM,WAJO - Sejak 2014 Mahkamah Konstitusi telah mengadili dan memutus perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman terhadap UUD 1945. Dalam amar putusan a quo Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan untuk seluruhnya yakni Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan Pasal 29 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Namun dalam putusan a quo Mahkamah berpendapat masih berwenang mengadili perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah selama belum ada Undang-Undang yang mengatur mengenai hal tersebut. Kini hampir 7 tahun inkonstitusional itu dirawat dengan penuh kesadaran.


Dalam perjalanannya, Undang-undang yang mengatur mengenai Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Pilkada) memformulasikan desain penyelenggaraan pemilihan kepala daerah serentak. Ketentuan Pasal 201 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 pada pokoknya memuat tahapan pemungutan suara serentak secara nasional. Pasal yang menyinggung mengenai pilkada serentak menitikberatkan pada esensi waktu penyelenggaraan pemilihan yang dilaksanakan secara serentak/bersamaan. 


Pilkada serentak gelombang pertama pada Desember 2015, Pilkada serentak gelombang kedua pada Februari 2017, Pilkada serentak gelombang ketiga pada bulan Juni 2018, dan Pilkada serentak gelombak keempat pada bulan desember 2020 telah bergulir dengan baik walaupun masih terdapat permasalahan dalam penyelenggaraan dan perselisihan. Terakhir untuk Pilkada serentak nasional di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.


Pilkada serentak gelombang pertama diikuti oleh kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2015 dan bulan januari sampai dengan bulan juni tahun 2016, Pilkada serentak gelombang kedua diikuti oleh kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada bulan juli sampai dengan bulan Desember tahun 2016 dan yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2017, Pilkada serentak gelombak ketiga diikuti oleh kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2018 dan tahun 2019, Pilkada serentak gelombang keempat diikuti oleh kepala daerah hasil pemilihan tahun 2015. Untuk Pilkada serentak nasional di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.


Pilkada serentak 2020 telah bergulir dengan baik walaupun masih terdapat permasalahan dalam penyelenggaraan dan perselisihan. Riuh Pilkada masih terasa, wacana Revisi UU Pemilu mengemuka di Dewan Perwakilan Rakyat. Revisi Undang-Undang a quo akan menggabungkan UU Nomor 10 Tahun 2016 dan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, sehingga nantinya pengaturan mengenai Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah akan digabung dalam satu aturan yang sama.


Sepanjang pelaksanaan Pilkada serentak 2015 sampai 2020, terdapat beberapa catatan yang tentu membutuhkan banyak perbaikan. Jika ditelusuri, masih segar diingatan kita pasangan calon Pilkada Kota Makassar yang diskualifikasi berdasarkan putusan pengadilan, putusan Bawaslu yang memerintahkan KPU untuk memasukkan kembali beberapa calon kepala daerah yang oleh KPU diduga tidak memenuhi syarat. Terbaru putusan Bawaslu Bandar Lampung yang mendiskualifikasi pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati terpilih karena terbukti melakukan pelanggaran terstruktur, sitematis, dan massif, meskipun akhirnya putusan a quo dianulir Mahkamah Agung. 


Mengapa badan peradilan khusus Pilkada perlu segera dibentuk? 

Pelajaran Pilkada Sebelumnya


Dalam suatu negara demokrasi, peranan lembaga penyelenggara pemilu merupakan salah satu persyaratan penting untuk mencapai pemilu yang demokratis. Lebih lanjut salah satu parameter pemilihan kepala daerah yang demokratis adalah sistem penegakan hukum dan penyelesaian sengketa pemilihan yang adil dan tepat waktu. Pelaksanaan pemilihan dimungkinkan terdapat pihak-pihak yang tidak puas kemudian menuntut haknya, baik dalam proses tahapan maupun terhadap hasil pemilihan yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum.


Harus diakui selama ini terlalu banyak pihak yang terlibat dalam penyelesaian perselisihan Pilkada sehingga sulit menghadirkan keadilan bagi peserta dan penyelenggara. Meski Bawaslu diberi kewenangan dalam menangani sengketa pemilihan, namun pengaturan tersebut belum secara tegas mengatur apakah putusan tersebut bersifat final atau tidak, terbukti setelah KPU menindaklanjuti putusan Bawaslu, objek dari keputusan yang dikeluarkan oleh KPU masih bisa menjadi objek sengketa. Untuk itu kiranya penting menelaah lebih jauh keberadaan peradilan khusus Pilkada yang merupakan amanat putusan Mahkamah Konstitusi.


Dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 kewenangan penyelesaian sengketa diletakkan pada Majelis Khusus Tindak Pidana dan Majelis Khusus Tata Negara. Yang patut dikritisi karena pembentukan Majelis Khusus Tindak Pidana dan Majelis Khusus Tata Usaha Negara masih menyimpan sisi kelemahan karena melalui kedua majelis tersebut penyelsaian sengketa pilkada masih berada pada lembaga yang terpisah, yakni peradilan umum dan peradilan tata usaha negara. Dengan demikian pemenuhan penyelesaian secara singkat akan sulit dicapai.


Sebagai contoh, putusan Bawaslu yang mendiskualifikasi pasangan calon di Bandar Lampung, psangan calon Eva-Deddy dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran terstruktur, sistematis, dan massif berupa perbuatan menjanjikan dan/atau memeberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi penyelenggara pemilihan dan/atau pemilih.

 

Sebelumnya terdapat tujuh rekomendasi yang dikeluarkan Bawaslu. Tersebar di Kaur, Ogan Ilir, Banggai, Kabupaten Gorontalo, Halmahera Utara, Pegunungan Bintang, dan Kutai Kartanegara. Dua diantaranya di eksekusi KPU dengan pembatalan yakni Banggai dan Ogan Ilir namun diskualifikasi itu dibatalkan oleh PT TUN dan MA. Rekomendasi yang dikeluarkan Bawaslu sama kontroversialnya dengan putusan pasangan calon di Bandar Lampung. Ini memberi bukti bahwa penyelesaian masalah hukum masih belum dilakukan secara terpadu dan masih terjadi disharmoni putusan yang pada akhirnya keadilan sulit diwujudkan.


Kemudian ditempat berbeda, Komisi Pemilihan Umum menunda Pilkada Boven Digoel karena ada sengketa terkait status hukum salah satu calon yakni Yusak Yaluwo, Dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 9 tahun 2020 bekas terpidana semacam Yusak harus menjalani jeda lima tahun sebelum dapat mencalonkan diri dan dipilih oleh masyarakat sebagai kepala daerah. 


Hitungan KPU, Yusak bebas bersyarat pada 7 Agustus 2014 dan baru bisa dianggap menyelesaikan masa tahanannya tanggal 26 Mei 2017. Seharusnya, Yusak baru bisa mendaftar pada tahun 2022. Berbekal aturan KPU, Yusak seharusnya belum bisa maju namun oleh KPU setempat diloloskan. Imbasnya, tiga orang anggota KPU Boven Digoel dinonaktifkan dari kerjanya. Hal serupa juga pernah dilakukan Yusak di masa lalu. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Boven Digoel akhirnya meloloskan Yusak Yaluwo dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2020.


Beberapa pihak memang mengemukakan keberatan terhadap beberapa putusan jajaran Bawaslu di daerah, dengan argumentasi bahwa Bawaslu tidak memiliki kewenangan dalam menilai apakah Peraturan KPU tersebut bertentangan dengan undang-undang atau tidak, bukan malah mengiyakan argumentasi pemohon yang mendalilkan Peraturan KPU tersebut bertentangan dengan undang undang. Seharusnya Bawaslu lebih pada proses mengawasi pakah ketentuan-ketentuan dalam Peraturan KPU sebagai koridor hukum penyelenggaraan tahapan Pemilu dilaksanakan oleh KPU atau Peserta Pemilu atau tidak, sesuai dengan pasal 93 huruf K undang undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum. Dikarenakan sebelum putusan MA terkait judicial review Peraturan KPU dimaksud belum keluar, maka PKPU tersebut tetap mengikat semua pihak.


Terlepas dari perdebatan putusan Bawaslu tersebut sudah tepat ataupun tidak, munculnya masalah ini disebabkan oleh tidak terpadunya penyelesaian sengketa dalam pemilihan kepala daerah. Hal ini menyebabkan peraturan perundang undangan tidak terlaksana secara efektif, efiesien, dan juga terjadinya perbedaan penafsiran dalam pelaksanaannya.


Persoalannya, selama ini perselisihan yang terjadi baik antara peserta dengan peserta, dan peserta dengan penyelenggara tidak menghadirkan kepastian hukum yang adil. Sebut saja beberapa keputusan KPU yang dianulir oleh Bawaslu, persoalan semakin runyam jika tindak lanjut dari putusan tersebut kembali digugat di pengadilan tata usaha negara. Dengan demikian harapan adanya putusan hukum yang mengikat dan dihormati seluruh khalayak nampaknya sulit dicapai. 


Tindak Lanjut Putusan MK


Sejarah mencatat, kewenangan dalam mengadili dan memutus perselisihan hasil Pemilu pernah berada di Mahkamah Agung, namun berselang beberapa tahun, kewenangan tersebut dilimpahkan ke Mahkamah Konstitusi. Beban kerja yang berat bagi Mahkamah Agung dianggap sebagai alasan melimpahkan kewenangan tersebut ke MK. Namun dalam perjalannya, wewenang itu kembali diserahkan ke Mahkamah Konstitusi.


Melalui Putusan MK Nomor 73/PUU-XII/2013, MK mengabulkan permohonan penggugat dan membatalkan pasal yang menjadi dasar kewenangan MK dalam mengadili dan memutus perselisihan hasil Pilkada. Amar putusan MK mengatakan bahwa selama belum terbentuk pengadilan yang menangani perselisihan hasil Pemilu maka wewenang itu tetap berada di MK. Alasannya agar tidak ada keragu-raguan, ketidakpastian hukum, dan kevakuman lembaga yang menyelesaikan sengketa Pilkada.


Pembentuk undang-undang sebenarnya telah mengaturnya melalui UU Nomor 10 Tahun 2016, ketentuan Pasal 156 mengatur bahwa Peradilan Khusus Pemilu harus dibentuk sebelum pelaksanaan Pilkada serentak dilaksanakan, sementara menurut ketentuan Pasal 201 UU 10 Tahun 2016, Pilkada serentak dilaksanakan pada bulan November 2024. Sebetulnya norma a quo tidak memberikan kepastian hukum perihal kapan lembaga peradilan khusus Pemilu itu dibentuk, UU 10 Tahun 2016 hanya mengatur sebelum pelaksanaan pilkada serentak nasional dilaksanakan. 


Jika ditelusuri, salah satu alasan pemohon mengajukan permohonan karena mengganggap beban kerja Mahkamah Konstitusi yang cukup berat, karena satu sisi harus menangani pengujian undang-undang, pada sisi yang lain harus juga fokus mengadili dan memutus perselisihan hasil pemilu.


Bisa dibayangkan, sejak putusan MK tahun 2014 yang lalu, Mahkamah Konstitusi masih mengadili perkara pilkada tahun 2015, 2017, 2018, dan terakhir tahun 2020. Ditengah perkara pengujian UU yang juga membutuhkan tenaga ekstra, harus ditambah dengan kesibukan mengadili dan memutus perselisihan hasil Pilkada. Andai peradilan Pilkada telah terbentuk, akan berbeda cerita.


Keberadaan pengadilan khusus ini dianggap memberikan kepastian hukum penanganan sengketa tanpa adanya dualisme putusan sebagaimana yang terjadi dalam praktek selama ini.


Momentum Perubahan Regulasi


DPR kini sedang membahas kembali UU Pemilu dan Pilkada, pengaturan nanti akan menggabungkan pengaturan Pemilu dan Pilkada dalam satu UU. Ditengah banyaknya gagasan yang mengemuka, gagasan untuk segera membentuk peradilan khusus pemilu juga tidak boleh luput. Penting memastikan perubahan tersebut mengakomidir pembentukan pengadilan khusus Pilkada. 


Kita semua paham bahwa putusan MK itu bersifat mengikat stelah dibacakan (final and binding). Persoalan yang selalu dikaitkan dengan sulitnya implementasi eksekusi putusan MK adalah sifat putusan MK yang dirumuskan bersifat final, dengan tidak ada kata mengikat (binding). Pada satu sisi, rumusan ini dinilai sebagai suatu kelemahan normatif, baik yang tercantum dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, maupun dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam UUD 1945 ditegaskan bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final…” Sedangkan dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ditegaskan kembali MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya final. 


Saya termasuk yang berpendapat, bahwa maksud dari pasal tersebut mengandung makna mengikat. Hal ini diperkuat dengan rumusan Pasal 57 yang menyatakan bahwa pasal atau UU yang dibatalkan oleh MK tidak memiliki kekuatan mengikat.


Nampaknya pembentuk UU belum menyadari pentingnya pembentukan Peradilan khusus pemilu. Padahal jika menegok kebelakang andai kata pengadilan khusus Pilkada telah terbentuk tentu bisa menyelesaikan sengketa yang muncul dalam setiap penyelenggaraan pilkada serentak. Sebetulnya putusan MK tersebut harus segera ditindaklanjuti oleh pembentuk UU untuk menghadirkan kepastian hukum dan juga penyelesaian perselisihan yang terpadu. 


Ihwal mekanisme tindak lanjut putusan MK dalam konteks legislasi merujuk pada UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang salah satunya berisi tentang tindak lanjut atas putusan MK, selanjutnya diatur bahwa tindak lanjut putusan MK tersebut dilakukan oleh DPR atau Presiden. Oleh karena itu adalah logis jika Pemerintah dan DPR selaku pembentuk undang-undang dituntut untuk segera membentuk pengadilan khusus PIlkada sebagaimana amanat putusan MK.


Secara jujur harus diakui, putusan MK a quo telah memberikan kontribusi positif dalam penguatan prinsip Pilkada yang demokratis, oleh karena itu dalam posisinya sebagai positif legislator, DPR dan Pemerintah harus memanfaatkan itu.


Lebih jauh isu substansial yang perlu dijawab adalah, Pertama, bagaimana kedudukan pengadilan khusus Pilkada yang akan dibentuk nanti, apakah berada di Mahkamah Agung atau dibentuk badan ad hock yang akan menangani perselisihan hasil nanti. Atau sebagaimana praktek yang telah dilaksanakan selama ini yakni peningkatan peran Bawaslu menjadi badan peradilan khusus Pilkada.


Kedua, apakah putusan pengadilan khusus Pilkada nanti bersifat final dan mengikat, mengingat putusan-putusan sebelumnya masih terdapat upaya hukum lain sehingga menyulitkan peserta dan penyelenggara dalam mendapatkan akses kepastian hukum.


Dalam konteks berpikir negara hukum yang tertib, maka tentunya harus dikatakan bahwa proses perbaikan itu hanya dapat dilakukan tatkala UU nya diubah, dalam arti secara expressis verbis diatur mengenai pembentukan pengadilan khusus Pilkada. Pertanyaannya, apakah sudah cukup jika diatur dalam pengaturan yang sama dengan Pemilu dan Pilkada? 


Jika berpikir lebih jauh tidak cukup jika hanya diselip dalam ketentuan Pemilu dan Pilkada, Pengaturan pembentukan pengadilan khusus pemilu harus dibentuk dalam satu aturan yang secara khusus mengatur pembentukan beserta hukum acaranya. 


Sekurang-kurangnya pembentuk UU harus memahami kebutuhan peradilan khusus Pilkada. Pemikiran hukum pembentukan pengadilan khusus Pilkada memang membutuhkan investasi yang cukup besar, akan tetapi dilihat investasi hukum jangka panjang maka pengadilan khusus pemilu akan memberikan alternatif hukum dalam menangani kasus-kasus pemilu agar lebih cepat, murah dan mudah serta memberikan kepastian hukum kepada semua pihak. 


Pengadilan khusus pemilu merupakan salah satu komponen dasar terciptanya kepastian hukum menuju negara demokrasi yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 dibawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).


Alangkah baiknya jika pengadilan khusus Pilkada serentak merupakan bagian terpenting dalam mengawal proses demokrasi. Karena peradilan khusus pemilu merupakan sebuah ius constituendum (cita hukum) yang tujuannya untuk memproteksi hak konstitutional warga negara dan peserta pemilihan umum, untuk memberikan ruang hukum kepada pihak-pihak yang dirugikan dalam penyelenggaraan Pilkada serentak untuk mendapatkan kepastian hukum dalam kehidupan negara demokrasi, sekaligus sebagai upaya untuk mempercepat penyelesaian sengketa atau kasus-kasus selama proses pemilihan berlangsung.


Kita telah mengorbankan banyak hal karena terus merawat inkonstitusional itu, bersusah payah menghadirkan penyelenggaraan Pemilihan yang demokratis, namun itu semua akan sulit terwujud jika tidak didorong oleh kemauan pembentuk regulasi untuk membentuk dengan segera peradilan khusus Pilkada. Jangan sampai tengat waktu tersebut semakin terus dibiarkan berlarut, cukuplah pelajaran Pilkada sebelumnya menjadi catatan.


Terlepas dari itu semua, keberadaan peradilan khusus Pilkada perlu dipertimbangkan sehingga masalah keadilan Pilkada yang terjadi sebelumnya dapat dimoderasi dengan baik, semoga!


Artikel ini telah terbit dalam Buku Partisipasi Publik, Transparansi Informasi, dan Telaah Konten Produk Hukum Pilkada, Komisi Pemilihan Umum Provinsi Sulawesi Utara, Tahun 2021.


Komentar

Tampilkan

  • Urgensi Peradilan Khusus Pilkada
  • 0

Terkini

Topik Populer

Iklan