Iklan

Iklan


APBD Jeneponto 2025: Untuk Rakyat atau Untuk Pegawai?

Wednesday, September 17, 2025 WIB Last Updated 2025-09-17T03:52:50Z


Oleh: Anugrah Alqadri, Pemerhati Kebijakan Publik

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah instrumen vital untuk menggerakkan pembangunan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, kerap kali APBD dipandang sebatas tabel angka, tanpa memahami filosofi dasarnya: uang negara adalah uang rakyat.

Pertanyaan mendasarnya, apakah APBD benar-benar kembali kepada rakyat, atau justru lebih banyak habis untuk menghidupi birokrasi?

Dominasi Belanja Pegawai

Pertanyaan itu menemukan relevansinya ketika kita mencermati Peraturan Bupati Jeneponto No. 1 Tahun 2025, perubahan atas Perbup No. 62 Tahun 2024 tentang Penjabaran APBD 2025. Dari dokumen resmi tersebut, terlihat jelas belanja pegawai mencapai **Rp573,6 miliar**. Jumlah ini setara dengan lebih dari separuh belanja operasi, menjadikan pegawai negeri sebagai pihak paling dominan dalam struktur APBD Jeneponto 2025.

Tidak ada yang salah dengan membayar gaji pegawai. ASN, DPRD, hingga pejabat daerah memang berhak atas kesejahteraan. Namun, yang patut dipersoalkan adalah **proporsinya**. Jika lebih dari separuh anggaran tersedot untuk birokrasi, maka ruang fiskal untuk pembangunan publik otomatis menyempit. Padahal, kebutuhan masyarakat begitu mendesak: jalan rusak masih banyak, sekolah kekurangan sarana, layanan kesehatan terbatas, hingga angka kemiskinan yang relatif tinggi.

Ironi Birokrasi dan Pelayanan Publik

Ironisnya, di tengah kebutuhan mendesak itu, pemerintah daerah justru memberikan porsi terbesar APBD untuk kenyamanan birokrasi. Besarnya belanja pegawai seharusnya berbanding lurus dengan peningkatan kualitas pelayanan publik. Namun kenyataannya, masyarakat Jeneponto masih menghadapi birokrasi yang lamban, pelayanan berbelit, dan digitalisasi yang minim.

Artinya, belanja besar tidak menghasilkan kualitas pelayanan yang signifikan. Rakyat membayar pajak, tetapi yang mereka dapat hanyalah sistem birokrasi yang menguras waktu dan tenaga. Dari perspektif keadilan fiskal, ini jelas problematis.

Pergeseran Anggaran yang Rawan Kritik

Lebih jauh, Perbup No. 1 Tahun 2025 juga memperlihatkan adanya pergeseran anggaran. Belanja Tidak Terduga (BTT) yang semula Rp12,58 miliar dipangkas Rp761 juta dan dialihkan ke belanja operasi. Secara hukum, langkah ini sah berdasarkan PP No. 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Namun, dari sisi kebijakan, keputusan ini rawan kritik.

BTT adalah pos penting untuk merespons keadaan darurat—mulai dari bencana alam hingga krisis kesehatan. Mengurangi pos darurat demi memperbesar belanja rutin sama saja mempersempit fleksibilitas fiskal daerah menghadapi situasi tak terduga.

Simulasi yang Hilang

Simulasi sederhana menunjukkan: jika belanja pegawai ditekan hanya 5–10%, maka Jeneponto akan memiliki tambahan ruang fiskal sebesar Rp28–57 miliar. Dana sebesar ini dapat dipakai untuk membangun sekolah baru, memperbaiki jalan desa, menambah puskesmas, atau memperluas akses air bersih.

Namun kesempatan itu hilang. Pemerintah daerah memilih status quo: mempertahankan dominasi belanja pegawai, sementara pembangunan publik hanya kebagian sisa. APBD Jeneponto pun tampak lebih berorientasi konsumtif—sekadar untuk "membayar gaji" ketimbang menghasilkan dampak pembangunan produktif.

Risiko Stagnasi

Jika pola ini berlanjut, Jeneponto berisiko terjebak dalam lingkaran setan: belanja pegawai terus membengkak, ruang pembangunan semakin sempit, dan kualitas hidup masyarakat stagnan. Padahal, APBD bukan hak eksklusif aparatur. Ia adalah amanah konstitusi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Karena itu, wajar jika publik mempertanyakan:

* Mengapa sekolah rusak tetap dibiarkan?
* Mengapa jalan berlubang tidak segera diperbaiki?
* Mengapa layanan kesehatan masih minim fasilitas?

Padahal, ratusan miliar rupiah digelontorkan setiap tahun hanya untuk membayar pegawai.

Legalitas vs Legitimasi

Benar, Perbup No. 1 Tahun 2025 sah secara hukum. Ia disusun berdasarkan PP No. 12 Tahun 2019, Permendagri No. 77 Tahun 2020, serta Perda APBD Jeneponto. Namun, sah secara hukum tidak otomatis adil secara sosial. Legalitas tidak selalu berbanding lurus dengan legitimasi.

APBD Jeneponto 2025 justru memperlihatkan jurang antara kepentingan birokrasi dan kepentingan rakyat. Jika pemerintah daerah tidak berani menekan belanja pegawai dan memperbesar porsi pembangunan, maka APBD akan terus menjadi “APBD untuk pegawai” – bukan “APBD untuk rakyat”.

Pertanyaan kritis pun menggema: sampai kapan rakyat hanya mendapat sisa dari anggaran daerahnya sendiri?
Komentar

Tampilkan

  • APBD Jeneponto 2025: Untuk Rakyat atau Untuk Pegawai?
  • 0

Terkini

Topik Populer

Iklan