Oleh: Andi Gusti Makkarodda
Ketergantungan fiskal pemerintah daerah (Pemda) terhadap transfer pusat, seperti Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK), masih menjadi masalah serius di Indonesia.
Data Kementerian Keuangan (2023) menunjukkan bahwa rata-rata kontribusi PAD terhadap total pendapatan daerah hanya sekitar 12,8%, sementara 70,5% berasal dari transfer pusat. Bahkan di beberapa kabupaten, seperti Kabupaten Serang (Banten), PAD hanya Rp 400 miliar (8%) dari total pendapatan daerah, sementara dana transfer mencapai Rp 4,2 triliun (84%) (BPK, 2023). Kondisi ini memperlihatkan kerentanan fiskal daerah jika terjadi perubahan kebijakan pusat.
Salah satu solusi strategis adalah pembentukan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang berfungsi mengoptimalkan potensi lokal sekaligus melakukan diversifikasi sumber PAD. Melalui BUMD, Pemda dapat mengelola aset seperti pasar, sampah, pariwisata, dan perikanan secara profesional sehingga mengurangi ketergantungan pada APBN.
1. BUMD sebagai Penggerak Ekonomi dan Penambah PAD
BUMD yang dikelola dengan baik dapat menjadi mesin pendapatan daerah. Contoh nyata adalah PD Pasar Jaya di DKI Jakarta, yang berhasil menyumbang Rp 1,2 triliun (2022) ke PAD melalui pengelolaan 150 pasar tradisional dan modern (BPS DKI, 2023). Kabupaten Bogor yang belum memiliki BUMD pasar PAD sektor retribusi pasarnya hanya Rp 50 miliar per tahun.
Selain itu, BUMD pengelolaan sampah bisa menjadi sumber pendapatan melalui konsep waste-to-energy. Kota Surabaya, melalui PD Kebersihan, tidak hanya menghemat anggaran sampah tetapi juga menghasilkan listrik dari TPST Benowo yang dijual ke PLN senilai Rp 20 miliar/tahun (Kompas, 2023).
2. Diversifikasi Sumber PAD untuk Mengurangi Ketergantungan
Mayoritas PAD saat ini bersumber dari pajak dan retribusi (Pajak Kendaraan, Hotel, Restoran). Padahal, BUMD bisa membuka sumber baru seperti:
- Laba usaha (contoh: BUMD Perikanan di Lombok Timur menghasilkan Rp 120 miliar/tahun dari budidaya rumput laut).
- Kerja sama investasi (BUMD Pariwisata Bali bermitra dengan swasta mengelola objek wisata, menyumbang 15% PAD Kabupaten Badung).
Tanpa BUMD, daerah hanya mengandalkan pajak dan retribusi yang fluktuatif. Misalnya, saat pandemi, PAD sektor pariwisata DI Yogyakarta anjlok 40% karena ketiadaan BUMD yang bisa menstabilkan pendapatan (BPS DIY, 2021).
3. Efisiensi Anggaran dan Pembangunan Mandiri
Dengan PAD yang kuat, Pemda bisa membiayai sebagian belanja wajib (seperti gaji ASN) tanpa menunggu DAU. Contoh: Kota Bandung menggunakan laba BUMD PDAM Tirtawening sebanyak Rp 350 miliar/tahun untuk membiayai infrastruktur air bersih, mengurangi ketergantungan pada DAK Infrastruktur (Pikiran Rakyat, 2023).
Sebaliknya, daerah tanpa BUMD seperti Kabupaten Pacitan (Jawa Timur) bergantung 90% pada DAU, sehingga pembangunan jalan dan fasilitas publik sering tertunda (BPK RI, 2022).
Tantangan
- Manajemen tidak profesional: Banyak BUMD merugi karena campur tangan politik, seperti BUMD PT Sarana Jaya (DKI) yang rugi Rp 1,3 triliun akibat investasi tak transparan (Koran Tempo, 2023).
- Modal terbatas: Pembangunan TPST atau pasar modern butuh investasi besar.
Solusi
- Penerapan GCG (Good Corporate Governance): BUMD harus dijalankan seperti perusahaan swasta dengan audit independen.
- Kemitraan Publik-Swasta (KPBU): Contoh sukses adalah BUMD Jasa Tirta (Jatim) yang bekerja sama dengan swasta mengelola bendungan untuk PLTA.
Pembentukan BUMD di sektor potensial (pengelolaan sampah, pasar, pariwisata) bukan hanya meningkatkan PAD, tetapi juga menciptakan kemandirian fiskal daerah. Pemerintah pusat bisa mendorong ini melalui:
1. Regulasi insentif (tax holiday untuk BUMD baru).
2. Pendampingan teknis dari Kementerian BUMN.
3. Pemetaan potensi lokal oleh Pemda sebelum membentuk BUMD.
Dengan langkah konkret ini, ketimpangan fiskal antara daerah dan pusat dapat dikurangi secara sistematis.
Wallahu a'lam bishawab
Referensi:
- Kementerian Keuangan RI (2023).
- BPK RI (2022-2023).
- BPS DKI Jakarta & DIY (2021-2023).
- Media (Kompas, Koran Tempo, Pikiran Rakyat).